Oleh : Konni Balamba (Penghobi Ayam Tarung Sulawesi Utara/Pimpinan Redaksi Hobbyayam.com)
HOBBY AYAM – Ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, di suatu sudut sunyi Kabupaten Gowa, sekelompok lelaki berkumpul diam-diam. Bukan untuk merancang makar, bukan pula untuk mabuk-mabukan. Mereka hanya ingin menyaksikan adu ketangkasan hewan peliharaan mereka: ayam jago. Tapi hari itu, mimpi sederhana mereka dibubarkan oleh suara sirene dan derap langkah aparat. Lari tunggang langgang, bahkan ada yang nekat melompat ke danau. Bukan karena mereka penjahat besar, tapi karena hobi mereka tak punya tempat yang aman.
Sabung ayam. Dua kata yang dalam banyak telinga modern langsung mengandung stigma: kekerasan, judi, kriminal. Namun bagi sebagian masyarakat, terutama di pelosok Sulawesi Selatan, sabung ayam bukan semata adu uang, melainkan bagian dari jati diri. Warisan nenek moyang yang telah turun temurun dijaga, dirawat, bahkan dimuliakan.
BACA JUGA : Lompat ke Danau Demi Hobi Budaya Leluhur, Nasib Malang Penghobi Ayam di Kabupaten Gowa Dikejar Polisi
Ayam jago tidak sekadar peliharaan. Ia dilatih, diberi makan terbaik, dirawat dengan dedikasi yang kadang lebih besar dari merawat diri sendiri. Dalam tubuh seekor ayam jantan, terpatri harga diri, semangat juang, dan simbol kehormatan. Tapi ketika tradisi itu berhadapan dengan hukum positif, para pencinta ayam ini tak lebih dari buruan.
Pertanyaannya: apakah seluruh praktik sabung ayam benar-benar layak dimasukkan ke dalam kategori kriminal tanpa kompromi?
Tentu, kita tidak sedang membela perjudian. Namun yang perlu kita pahami adalah bahwa tidak semua sabung ayam dilakukan untuk bertaruh. Banyak komunitas penghobi yang hanya ingin memperlihatkan kemampuan ayamnya, tanpa embel-embel taruhan. Tapi karena tidak ada ruang legal dan terkontrol, hobi ini akhirnya bergerak di ruang abu-abu—yang dalam waktu singkat berubah menjadi hitam di mata hukum.
Fenomena ini menyoroti satu masalah besar: tidak adanya tempat untuk menyalurkan tradisi secara aman dan bermartabat.
Pemerintah, aparat, dan masyarakat luas perlu membuka ruang dialog yang jujur dan adil. Sebagaimana seni bela diri, balap motor, atau bahkan komunitas merpati kolongan yang kini mendapat wadah resmi dan bisa dilombakan secara legal, sabung ayam juga layak mendapat pertimbangan serupa—dengan batasan, pengawasan, dan regulasi yang jelas.
Selama ini, kita sering membanggakan kekayaan budaya Nusantara. Tapi apa artinya kebanggaan itu jika praktik-praktik turun-temurun justru terus diburu dan dikriminalisasi tanpa ruang kompromi?
Jika hobi yang diwariskan leluhur terus dianggap sebagai ancaman, maka suatu hari nanti, kita bukan hanya kehilangan sebuah kegiatan, tapi juga kehilangan warisan budaya yang pernah hidup di antara kita.
Tradisi bukan musuh hukum. Yang kita butuhkan adalah ruang dialog dan kebijakan bijak—agar ayam jago bisa kembali berkokok tanpa ketakutan, dan para penghobinya bisa menyalurkan cinta mereka tanpa harus melompat ke danau demi menghindari borgol. (**)
Comment