Bukan Sekadar Hiburan, Inilah Sejarah Panjang dan Makna Sosial di Balik Sabung Ayam

HOBBY AYAM – Ayam jantan bukan hanya dikenal sebagai sumber daging dan telur, tapi juga memiliki peran penting dalam budaya dan sejarah manusia. Jauh dari sekadar unggas peliharaan, ayam jantan terlibat dalam ritual sosial, pertarungan status, hingga menjadi simbol politik sejak berabad-abad silam.

Dalam dunia hewan, ayam jantan ternyata memiliki hirarki sosial yang kompleks. Menurut Dr. Jacqueline Jacob dari situs Poultry Extension milik Universitas Kentucky, ayam mulai terlibat dalam pertarungan kekuasaan sejak usia dua minggu. Tujuan dari perkelahian ini bukan sekadar agresi, tapi untuk menentukan peringkat sosial dalam kelompok mereka. Ketika ada anggota baru atau ayam yang kembali setelah lama absen, konflik bisa kembali muncul demi penegasan posisi.

Pertarungan antar ayam jantan juga dapat dipicu oleh persaingan makanan dan kesulitan mengenali sesama, terutama jika terjadi perubahan warna atau pola pada tubuh. Meski ayam mampu mengenali sekitar 30 individu lain, perubahan visual pada bagian kepala dan leher kerap memicu ketegangan dalam kelompok.

Sabung Ayam dalam Lintas Sejarah Nusantara

Tradisi sabung ayam telah hadir lama dalam kebudayaan Indonesia. Bahkan, ritual ini telah terekam dalam naskah dan prasasti sejak abad ke-10. Antropolog ternama Clifford Geertz pernah menyaksikan langsung acara sabung ayam saat melakukan penelitian di Bali tahun 1958. Ketika aparat datang untuk menggerebek arena judi, Geertz ikut melarikan diri bersama warga. Momen ini justru menjadi pintu masuk baginya untuk memahami masyarakat Bali secara lebih dalam.

Dalam esainya yang terkenal Deep Play: Notes on The Balinese Cockfight, Geertz mengungkap bahwa di balik arena laga, sabung ayam adalah simbol dari konflik sosial, pertaruhan harga diri, dan relasi kekuasaan antar warga desa. Sabung ayam bukan hanya adu hewan, melainkan cerminan struktur masyarakat Bali.

Penelitian lokal pun menguatkan pandangan Geertz. Ani Rachmat dan Agusmanon Yuniadi (2018), serta I Wayan Gede Saputra K.W (2016) mencatat bahwa sabung ayam sudah berlangsung sejak era Bali kuno. Prasasti Sukawana, Batur Abang, Trunyan, dan Sembiran menjadi bukti arkeologis atas jejak tradisi ini.

Ayam dalam Panggung Politik dan Identitas Bangsa

Sabung ayam bahkan masuk ke dalam panggung sejarah kerajaan Nusantara. Dalam Kitab Pararaton, Ken Arok – pendiri Kerajaan Singasari – disebut sebagai seorang tukang sabung ayam sebelum naik tahta. Sementara itu, konflik internal di kerajaan tersebut pun melibatkan sabung ayam, ketika Anusapati tewas ditikam oleh saudaranya Tohjaya dalam sebuah acara laga ayam.

Di masa Majapahit, Raja Hayam Wuruk justru memilih nama “ayam” sebagai identitas kerajaannya. Ini menjadi pengecualian dari kebiasaan para pejabat kerajaan yang umumnya memilih nama hewan kuat seperti kerbau atau gajah. Nama Hayam Wuruk, yang berarti “Ayam yang Terpelajar”, menunjukkan simbolisme tersendiri yang tidak bisa dipandang remeh.

Sementara di Sulawesi, sabung ayam menjadi bagian dari diplomasi antar kerajaan. Pada 1562, Kerajaan Gowa dan Bone mengadakan sabung ayam sebagai acara kenegaraan. Namun, ketegangan yang muncul dari pertaruhan besar dalam acara itu justru menjadi pemicu konflik politik antara kedua kerajaan.

Kesimpulan: Dari Arena Hingga Makna Sosial

Pertarungan ayam jantan, baik yang terjadi secara alami maupun dalam bentuk sabung ayam, bukan sekadar adu kekuatan antar hewan. Di balik sayap dan taji yang saling menghantam, tersimpan makna sosial yang kompleks—mulai dari pembentukan hierarki hingga simbol kekuasaan dan identitas budaya.

Tradisi sabung ayam telah melewati zaman, dari arena desa hingga lembaran sejarah kerajaan. Dan meski kini praktik tersebut sering dikaitkan dengan judi ilegal, jejak historisnya tetap menyisakan kisah menarik tentang bagaimana manusia menggunakan simbol ayam dalam memaknai kehidupan, konflik, dan kekuasaan. (**)

Comment